Sri Mulyani
Sri Mulyani Targetkan Pajak Dari Penjual Online Di Market Place

Sri Mulyani Targetkan Pajak Dari Penjual Online Di Market Place

Sri Mulyani Targetkan Pajak Dari Penjual Online Di Market Place

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Sri Mulyani
Sri Mulyani Targetkan Pajak Dari Penjual Online Di Market Place

Sri Mulyani Menetapkan Bahwa Marketplace Seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, Hingga Tiktok Shop Akan Bertindak Sebagai Pemungut Pajak. Aturan ini menyasar pelaku usaha kecil-menengah (UMKM) dengan omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun. Pajak yang di kenakan sebesar 0,5 persen dari omzet penjualan, dan akan di potong langsung oleh pihak marketplace sebelum hasil penjualan di kirimkan kepada penjual.

Langkah ini di nilai sebagai bentuk adaptasi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi digital yang pesat, sekaligus upaya untuk mengatasi potensi hilangnya penerimaan negara dari sektor informal. Sri Mulyani menyebutkan, model pemungutan oleh pihak ketiga seperti marketplace akan mempermudah proses pelaporan dan pembayaran pajak, terutama bagi pelaku UMKM yang selama ini belum tersentuh sistem perpajakan secara optimal.

“Marketplace akan menjadi pemungut pajak. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada beban pelaporan tambahan di sisi pedagang kecil,” ujar seorang pejabat Di rektorat Jenderal Pajak yang enggan di sebutkan namanya.

Kebijakan ini juga mendapat dukungan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Mereka menyatakan kesiapan untuk menyesuaikan sistem, namun berharap pemerintah memberikan masa transisi yang cukup agar proses integrasi tidak memberatkan pelaku usaha dan platform digital.

Sementara itu, sejumlah pengamat menilai kebijakan ini penting untuk menciptakan keadilan fiskal antara pedagang daring dan luring. Selama ini, banyak pelaku usaha di ranah digital yang luput dari pengawasan pajak karena transaksi berlangsung secara daring dan tersebar di banyak platform.

Kendati demikian, tantangan tetap ada. Marketplace harus segera memutakhirkan sistem internal mereka agar dapat memotong dan menyetor pajak secara akurat. Pemerintah pun di harapkan memberikan pendampingan serta sosialisasi menyeluruh kepada para pelaku usaha Sri Mulyani.

Kami Sudah Terbebani Dengan Biaya Admin Dan Ongkir Subsidi

Kebijakan baru pemerintah yang menetapkan marketplace sebagai pemungut pajak dari para penjual online menuai beragam respons dari masyarakat, khususnya dari pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) di sektor e-commerce. Seiring dengan rencana pemerintah yang akan memotong 0,5 persen dari omzet penjual secara otomatis, sebagian besar pelaku usaha menunjukkan kekhawatiran terhadap dampak kebijakan ini terhadap pendapatan mereka.

Beberapa penjual menyatakan bahwa potongan 0,5 persen tampak kecil, namun dalam jangka panjang bisa memengaruhi margin keuntungan, terutama bagi mereka yang beroperasi dengan modal terbatas. “Kami Sudah Terbebani Dengan Biaya Admin Dan Ongkir Subsidi. Kalau sekarang di tambah pajak, margin makin tipis,” ungkap Siti, penjual aksesoris di Tokopedia.

Di sisi lain, ada juga pedagang yang memahami niat baik pemerintah dalam menerapkan keadilan fiskal. Mereka menilai, selama pemungutan pajak di lakukan secara otomatis oleh marketplace dan tidak memerlukan pelaporan tambahan, sistem ini bisa membantu mereka lebih patuh tanpa harus repot mengurus administrasi pajak secara manual. “Kalau otomatis dan sudah final, menurut saya malah lebih praktis. Yang penting transparan,” ujar Joko, penjual baju di Shopee.

Di luar komunitas penjual, masyarakat umum juga ikut menanggapi kebijakan ini. Sebagian pengguna media sosial mempertanyakan mengapa pemerintah terlihat agresif menarik pajak dari sektor UMKM digital, sementara pengawasan terhadap perusahaan besar asing di nilai belum seimbang. Kritik ini mencerminkan adanya kekhawatiran bahwa kebijakan bisa membebani pihak yang justru sedang bertumbuh. Namun, ada pula pandangan positif dari kalangan profesional dan pengamat ekonomi digital yang menilai bahwa langkah ini dapat memperkuat struktur ekonomi nasional.

Sri Mulyani Indrawati Menyatakan Bahwa Regulasi Yang Mewajibkan Marketplace Menyetor Pajak Penjual Online Sebesar 0,5 %

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Menyatakan Bahwa Regulasi Yang Mewajibkan Marketplace Menyetor Pajak Penjual Online Sebesar 0,5 % adalah bagian dari upaya memperluas pengawasan fiskal atas ekonomi digital yang selama ini berkembang pesat dan sebagian besar belum tercakup dalam sistem perpajakan formal.

Menurut pernyataan resmi dari Di rektorat Jenderal Pajak (DJP), kebijakan ini bertujuan untuk menekan praktik ekonomi bayangan (“shadow economy”)—yakni transaksi daring yang tidak tercatat atau di laporkan pajaknya. Dengan marketplace sebagai pemungut, pemerintah berharap kepatuhan pajak dari pedagang UMKM dapat meningkat tanpa beban administrasi yang rumit .

Dari sisi teknis, pemerintah menegaskan bahwa regulasi masih dalam tahap finalisasi—belum di terbitkan secara resmi dalam payung hukum seperti Peraturan Menteri Keuangan. Implementasi akan di umumkan ke publik setelah semua mekanisme dan sistem siap dan stakeholder telah di beri informasi lengkap.

Terkait masa transisi, Kementerian Keuangan menyadari regulasi ini tidak ringan secara teknis terhadap platform dan jutaan penjual UMKM. Karenanya, terdapat dorongan agar pemberlakuannya di lakukan secara bertahap dengan waktu adaptasi yang cukup. Hal ini untuk mencegah dampak negatif seperti gangguan sistem teknis atau lonjakan beban operasional pada marketplace serta pelaku usaha digital.

Sebelumnya, kebijakan serupa pernah sempat di rancang pada 2018 melalui PMK Nomor 210/2018. Namun di tarik kembali menyusul reaksi pelaku usaha kecil. Sri Mulyani menegaskan bahawa PMK tersebut bukan di maksudkan untuk memungut pajak secara langsung, melainkan hanya mengatur tata cara pelaporan. Pemerintah juga menekankan bahwa tidak semua pedagang wajib mendaftar NPWP; mereka dapat menggunakan NIK jika penghasilan. Di bawah batas tidak kena pajak (PTKP). Untuk mencegah beban pada pelaku usaha mikro pemula seperti ibu rumah tangga dan pelajar.

Sejumlah Pedagang Lain Juga Menyuarakan Kekhawatiran Soal Transparansi Dan Teknis Pemotongan Pajak

Rencana pemerintah yang akan mewajibkan marketplace untuk memungut pajak dari para penjual online menuai tanggapan beragam dari kalangan pelaku dagang. Terutama mereka yang bergerak di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Mayoritas penjual mengaku kaget sekaligus khawatir terhadap dampak kebijakan ini terhadap kelangsungan usaha mereka.

Bagi pelaku usaha dengan margin tipis, potongan pajak sebesar 0,5 persen dari omzet di nilai cukup signifikan. Terlebih jika di tambahkan dengan potongan lain seperti biaya admin platform dan diskon wajib dari promo marketplace. “Jualan online itu kelihatannya ramai, tapi persaingannya ketat dan marginnya kecil. Kalau di potong lagi untuk pajak, makin berat,” ujar Rani, penjual kosmetik di Shopee.

Sejumlah Pedagang Lain Juga Menyuarakan Kekhawatiran Soal Transparansi Dan Teknis Pemotongan Pajak. Mereka mempertanyakan apakah sistem marketplace akan mencantumkan potongan pajak secara jelas di laporan penjualan. Serta apakah mereka tetap harus melapor sendiri ke kantor pajak. “Jangan sampai kami kena pajak dua kali di potong marketplace dan masih di suruh setor sendiri. Kata Agus, pelaku usaha pakaian di Tokopedia.

Namun, ada juga pelaku usaha yang menyambut positif wacana ini, dengan catatan pelaksanaannya sederhana dan tidak menambah beban administrasi. Mereka menganggap, jika pajak benar-benar di potong secara otomatis dan di anggap final. Hal ini justru dapat membantu mereka menjadi wajib pajak yang patuh tanpa perlu repot mengurus pelaporan. “Kalau sudah di potong otomatis dan enggak perlu lapor lagi, saya sih setuju. Selama angkanya jelas dan tidak berubah-ubah,” kata Budi, penjual makanan kering di Bukalapak Sri Mulyani.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait