DAERAH
Defisit Rp 3.500 T Ancam Manfaat Hutan Abadi
Defisit Rp 3.500 T Ancam Manfaat Hutan Abadi

Defisit Rp 3.500 T Ancam Manfaat Hutan Abadi Yang Menjadi Permasalahan Utama Saat Ini Dalam Pelestarian Lanjutnya. Selamat pagi, siang, atau malam, para pembaca yang peduli akan masa depan bumi kita! Terlebih bayangkan sebuah aset paling berharga di negeri ini: hutan, penyedia oksigen, penjaga air. Dan juga dengan benteng keanekaragaman hayati. Tentu hutan kita adalah ‘bank’ manfaat abadi, sumber daya yang seharusnya tak ternilai harganya. Namun, di balik rimbunnya dedaunan, tersimpan ironi yang menusuk: hutan kita terancam bangkrut! Anda tidak salah dengar. Sebuah jurang pendanaan yang menganga, mencapai angka fantastis Defisit Rp 3.500 Triliun per tahun. Serta jumlah ini bukan sekadar statistik. Akan melainkan defisit vital yang menentukan apakah hutan kita akan tetap menjadi sumber kekayaan alam. Atau hanya tinggal kenangan. Mari kita bahas tuntas!
Mengenai ulasan tentang Defisit Rp 3.500 T ancam manfaat hutan abadi telah di lansir sebelumnya oleh kompas.com.
Kesenjangan Antara Kebutuhan Dan Pembiayaan Konservasi Hutan
Hutan Indonesia merupakan salah satu yang terkaya di dunia. Dan tidak hanya dari sisi luas wilayah tetapi juga dari segi manfaat ekologis, ekonomi. Serta dengan manfaat sosial yang di berikannya. Namun di balik kekayaan tersebut, terdapat kenyataan yang ironis: hutan justru miskin pendanaan. Kesenjangan antara kebutuhan biaya konservasi. Kemudian dengan dana yang benar-benar tersedia masih sangat lebar. Dalam berbagai studi dan laporan, di sebutkan bahwa kebutuhan pembiayaan untuk menjaga kelestarian hutan Indonesia. Terlebihnya untuk mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Sementara dana yang benar-benar di alokasikan melalui anggaran pemerintah hanya mencakup sebagian kecil dari jumlah itu. Misalnya, sebuah studi memperkirakan kebutuhan dana untuk pelestarian kawasan konservasi sekitar Rp 9,1 triliun per tahun. Akan tetapi realisasi anggarannya hanya sekitar Rp 2–3 triliun. Angka tersebut menunjukkan defisit pendanaan yang besar. Bahkan dasar seperti patroli hutan.
Defisit Rp 3.500 T Ancam Manfaat Hutan Abadi Yang Jadi Permasalahan Utamanya
Kemudian juga masih membahas Defisit Rp 3.500 T Ancam Manfaat Hutan Abadi Yang Jadi Permasalahan Utamanya. Dan fakta lainnya adalah:
Manfaat Hutan Sangat Luas Dan Bernilai Tinggi
Ia merupakan salah satu penopang kehidupan terbesar di dunia. Terlebih luasnya mencapai lebih dari 90 juta hektare, membentang dari Sumatra hingga Papua. Tentunya dengan fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial yang saling terhubung. Namun di balik kekayaan itu, ada paradoks yang menyedihkan. Dan hutan yang memberi manfaat luar biasa bagi kehidupan manusia justru miskin pendanaan. Terlebihnya untuk menjaga keberlanjutannya. Padahal, nilai manfaat hutan. Baik yang terlihat maupun yang tak kasat mata. Maka sangat tinggi dan tak tergantikan oleh sistem buatan manusia. Dari sisi ekologis, hutan berperan sebagai paru-paru bumi. Pepohonan di dalamnya menyerap karbon dioksida (CO₂) dan melepaskan oksigen (O₂). Kemudian juga membantu menekan laju pemanasan global. Indonesia sendiri termasuk dalam tiga negara dengan hutan tropis terbesar di dunia.
Serta bersama Brasil dan Kongo. Setiap hektare hutan mampu menyimpan ratusan ton karbon. Jika di lepaskan ke atmosfer akibat deforestasi, akan mempercepat perubahan iklim. Artinya, keberadaan hutan memiliki nilai ekonomi global yang sangat besar. Karena menjadi penyeimbang karbon dunia. Selain itu, hutan berfungsi sebagai pengatur sistem air alami. Akar-akar pohon menahan air hujan agar tidak langsung mengalir deras ke sungai. Kemudian dapat mencegah banjir di musim penghujan dan menjaga cadangan air tanah di musim kemarau. Di banyak daerah aliran sungai (DAS), kualitas dan ketersediaan air. Namun sangat bergantung pada kondisi hutan di hulu. Ketika hutan rusak, air menjadi langka, sumber mata air mengering. Dan juga biaya penyediaan air bersih bagi masyarakat meningkat. Karena itu, hutan sesungguhnya menyimpan nilai ekonomi besar dalam bentuk jasa air. Tentunya menjadi sebuah nilai yang sering tidak tercatat dalam perhitungan keuangan negara.
Hutan ‘Kelaparan’ Dana: 3 Ribu Triliun Lebih Kunci Kekayaan Kegunaannya
Selain itu, masih membahas Hutan ‘Kelaparan’ Dana: 3 Ribu Triliun Lebih Kunci Kekayaan Kegunaannya. Dan fakta lainnya adalah:
Pendanaan Internasional & Mekanisme Insentif Berbasis Hasil (Result-Based Payment)
Hal ini juga menjadi salah satu harapan utama untuk menutup kesenjangan antara kebutuhan dan kemampuan pendanaan nasional. Indonesia, sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Kemudian memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Karena itu, berbagai negara. Serta lembaga internasional telah mengembangkan skema pendanaan berbasis hasil atau result-based payment. Terlebihnya untuk memberikan insentif finansial kepada negara-negara. Tentunya dengan yang berhasil menurunkan laju deforestasi dan menjaga kelestarian hutannya. Pendanaan internasional untuk sektor kehutanan biasanya muncul dalam konteks kerja sama global. Terutama dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Salah satu mekanisme yang paling di kenal adalah REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Terlebihnya yaitu skema di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Serta yang memberi kompensasi finansial kepada negara-negara berkembang.
Tujuannya mampu mengurangi emisi karbon dari sektor kehutanan. Dalam mekanisme ini, negara seperti Indonesia akan menerima pembayaran. Tentunya hanya setelah terbukti berhasil menurunkan tingkat deforestasi berdasarkan sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang ketat. Prinsip result-based payment sendiri sangat penting: dana tidak di berikan di muka sebagai hibah tanpa syarat. Namun di salurkan setelah hasil nyata tercapai. Artinya, semakin besar penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Maka akan semakin besar pula potensi pembayaran yang di terima. Pendekatan ini mendorong negara penerima. Serta untuk benar-benar menunjukkan kinerja konkret dalam menjaga hutan. Namun bukan sekadar membuat komitmen di atas kertas. Indonesia telah menjadi salah satu contoh negara yang berhasil mendapatkan pendanaan semacam ini. Melalui kerja sama dengan Norwegia, menerima pembayaran berbasis hasil pertama senilai US$56 juta tahun 2020. Karena berhasil menurunkan deforestasi nasional. Kesepakatan baru pun terus di jajaki.
Hutan ‘Kelaparan’ Dana: 3 Ribu Triliun Lebih Kunci Kekayaan Kegunaannya Yang Luas
Selanjutnya juga masih membahas Hutan ‘Kelaparan’ Dana: 3 Ribu Triliun Lebih Kunci Kekayaan Kegunaannya Yang Luas. Dan fakta lainnya adalah:
Masalah Kelembagaan, Kapasitas & Ketidakadilan Akses
Salah satu penyebab utama kemiskinan pendanaan di sektor kehutanan Indonesia. Namun bukan hanya soal uang yang kurang. Akan tetapi juga karena persoalan mendasar dalam kelembagaan, kapasitas, dan keadilan akses terhadap sumber daya hutan. Tiga aspek ini saling terkait dan menciptakan lingkaran yang membuat pengelolaan hutan sulit berkembang secara optimal. Meski potensi manfaatnya luar biasa besar. Masalah pertama terletak pada kelembagaan. Struktur kelembagaan yang menangani urusan hutan di Indonesia masih terfragmentasi. Serta yang seringkali tumpang tindih antarinstansi. Kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah kerap tidak sinkron. Terutama setelah adanya desentralisasi yang memberi wewenang besar pada daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, banyak kebijakan kehutanan di tingkat lokal tidak sejalan. Tentunya dengan arah konservasi nasional.
Selain itu, lembaga pengelola dana lingkungan seperti Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Kemudian yang masih menghadapi tantangan birokratis. Serta teknis dalam menyalurkan dana ke lapangan secara cepat dan tepat sasaran. Koordinasi antar lembaga pun seringkali lemah. Misalnya, proyek rehabilitasi hutan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Karena tidak selalu terhubung dengan program pemberdayaan masyarakat dari Kementerian Desa. Atau skema pembiayaan hijau dari Kementerian Keuangan. Akibatnya, pendanaan konservasi seringkali tidak sinergis dan hasilnya tidak maksimal. Di sisi lain, lembaga-lembaga lokal yang berperan langsung di lapangan. Contohnya seperti kelompok tani hutan (KTH) atau koperasi hutan desa. Dan belum sepenuhnya memiliki dukungan kelembagaan yang kuat. Tentunya untuk mengakses pendanaan dan mengelola proyek berbasis konservasi.
Jadi itu dia beberapa fakta yang ancam manfaat hutan abadi dan jumlahlah triliunan dari Defisit Rp 3.500.