Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII
Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII

Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII

Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII
Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII

Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII Akibat Menghargai Atas Meninggalnya Raja Kasunanan. Selamat siang para pembaca setia yang mencintai kehangatan budaya Jawa! Kali ini, suasana di jantung Kota Yogyakarta terasa berbeda. Terlebih seolah di selimuti tirai sunyi yang agung. Dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang biasanya ramai dengan alunan merdu gamelan dan gelak tawa wisatawan. Namun kini mendadak senyap. Bukan karena liburan biasa, melainkan karena sebuah penghormatan luhur yang di jalankan Keraton Jogja atas wafatnya Raja Keraton Kasunanan Surakarta, SISKS Pakubuwono XIII. Ini adalah cerminan mendalam dari ikatan persaudaraan Mataram yang tak lekang oleh waktu. Sebagai tanda duka cita. seluruh kegiatan pentas gamelan, termasuk paket wisata Srimanganti, di hentikan total. Dan tradisi ini menunjukkan bahwa politik bisa memisahkan wilayah. Mari kita selami lebih jauh, apa makna di balik Keraton Jogja Hening ini.

Mengenai ulasan tentang Keraton Jogja Hening: gamelan setop hingga pemakamanan PB XIII telah di lansir sebelumnya oleh kompas.com.

Bentuk Penghormatan Dan Duka Cita

Tentu hal ini lah yang menjadi keputusan untuk menghentikan seluruh kegiatan pentas gamelan wisata dan pertunjukan paket “Srimanganti”. Terlebihnya hingga prosesi pemakaman selesai. Keputusan ini bukan semata-mata tindakan administratif. Namun melainkan cerminan nilai luhur budaya Jawa yang menempatkan kematian seorang raja sebagai peristiwa sakral yang harus di sertai suasana hening dan penuh hormat. Dalam tradisi keraton, bunyi gamelan memiliki makna spiritual dan simbolik yang besar. Karena di anggap sebagai wujud harmoni antara manusia dan alam semesta. Ketika seorang raja wafat, gamelan harus di hentikan untuk memberi ketenangan bagi arwah. Tentu yang sedang menempuh perjalanan menuju alam kelanggengan. Tindakan ini juga menjadi simbol rasa duka dan solidaritas antara dua keraton besar di Jawa. Serta yaitu Keraton Yogyakarta dan juga yang di Keraton Surakarta. Dan juga yang sama-sama berasal dari garis keturunan Kerajaan Mataram Islam.

Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII Dengan Berbagai Alasan

Kemudian juga masih membahas Keraton Jogja Hening: Gamelan Setop Hingga Pemakaman PB XIII Dengan Berbagai Alasan. Dan alasan lainnya adalah:

Kehormatan Terhadap Hubungan Institusi Keraton

Hal ini juga merupakan bentuk nyata dari kehormatan terhadap hubungan institusi antar-keraton. Terlebih khususnya antara Keraton Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Langkah ini menggambarkan betapa dalamnya rasa hormat. Dan juga keterikatan historis di antara dua kerajaan besar tersebut yang memiliki akar genealogis, budaya, dan spiritual yang sama. Tentunya yaitu berasal dari Kerajaan Mataram Islam. Dalam tradisi dan struktur sosial budaya Jawa, hubungan antara dua keraton tidak hanya bersifat simbolik. Namun juga mencerminkan rasa persaudaraan dalam lingkup institusi budaya dan adat. Ketika salah satu keraton mengalami peristiwa penting. Terlebihnya seperti wafatnya seorang raja, keraton lain akan menunjukkan bentuk penghormatan dengan cara-cara adat. Dan seperti mengirimkan doa, menurunkan kegiatan hiburan.

Hingga menghentikan pertunjukan seni yang di anggap tidak pantas dilakukan di tengah suasana duka. Maka dari itu, ketika PB XIII wafat, Keraton Yogyakarta langsung merespons kabar duka yang di bawa oleh Utusan Dalem dari Surakarta. Tentunya dengan sikap hormat dan bijaksana, termasuk meniadakan bunyi gamelan. Karena sebagai tanda solidaritas dan empati antar-keraton. Sikap ini memiliki nilai simbolik yang mendalam. Gamelan dan pertunjukan di lingkungan keraton bukan hanya hiburan. Akan tetapi bagian dari upacara budaya dan spiritual yang sarat makna. Menghentikan gamelan di saat raja dari keraton lain wafat berarti mengakui dan menghormati kedudukan spiritual serta martabat raja tersebut. Ini juga menjadi cerminan bahwa kedua keraton masih menjaga rasa sesrawungan (hubungan sosial dan batin) yang di wariskan sejak masa Mataram. Meskipun kini keduanya berdiri sebagai entitas yang berbeda. Kemudian nilai-nilai luhur seperti andhap asor (rendah hati). Dan tepo seliro (saling menghormati) tetap di junjung tinggi.

Hormat Terakhir Yogya Untuk Raja Solo: Gamelan Tak Lagi Berbunyi

Selain itu, masih membahas Hormat Terakhir Yogya Untuk Raja Solo: Gamelan Tak Lagi Berbunyi. Dan alasan lainnya juga karena:

Adat-Istiadat Keraton Dan Kesakralan Prosesi Pemakaman

Tentu untuk menghentikan sementara pentas gamelan wisata dan pertunjukan paket “Srimanganti” hingga pemakaman Paku Buwono XIII selesai. Terlebihnya yang tidak dapat di lepaskan dari adat-istiadat keraton dan kesakralan prosesi pemakaman raja dalam tradisi budaya Jawa. Di lingkungan keraton, setiap tindakan, termasuk penghentian aktivitas seni dan wisata. Karena selalu memiliki makna spiritual dan adat yang mendalam. Langkah ini bukan sekadar bentuk penghormatan. Akan tetapi juga bagian dari tata laku keraton yang di atur oleh norma-norma adat. Dan nilai kesakralan yang telah di jaga turun-temurun. Dalam pandangan budaya Jawa, kematian seorang raja bukan hanya peristiwa duniawi. Namun melainkan peristiwa kosmis yang menyangkut keseimbangan antara alam manusia dan alam spiritual. Seorang raja di anggap sebagai “pangarsa jagad”.  Terlebih sosok yang menjadi penghubung antara rakyat dengan dunia adikodrati.

Ketika seorang raja wafat, seperti halnya PB XIII dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Maka seluruh alam di anggap sedang mengalami masa transisi spiritual. Karena itu, semua bentuk hiburan dan bunyi-bunyian duniawi. Serta yang termasuk gamelan, harus di hentikan untuk menjaga kesucian suasana. Dan menghormati perjalanan arwah sang raja menuju alam baka. Tradisi penghentian gamelan ini di kenal dengan istilah suwuk. Tentunya yaitu penghentian sementara kegiatan budaya atau hiburan yang berkaitan dengan suasana sakral atau duka cita. Dalam keraton, suwuk bukan sekadar larangan. Namun melainkan simbol penundaan dunia profan demi memberi ruang bagi dunia spiritual. Dengan demikian, penghentian gamelan bukan berarti mengabaikan budaya, melainkan justru menjaga kemurnian makna budaya itu sendiri. Terlebihnya agar tidak bertabrakan dengan momen sakral seperti wafatnya seorang raja. Selain penghentiannya, adat keraton juga mengatur bagaimana seluruh abdi dalem.

Hormat Terakhir Yogya Untuk Raja Solo: Gamelan Tak Lagi Berbunyi Untuk Sementara Waktu

Selanjutnya juga masih membahas Hormat Terakhir Yogya Untuk Raja Solo: Gamelan Tak Lagi Berbunyi Untuk Sementara Waktu. Dan alasan lainnya karena:

Penjelasan Tambahan

Karena terdapat sejumlah aspek yang memperdalam makna di balik kebijakan tersebut. Baik dari sisi waktu pelaksanaan, dampak terhadap kegiatan wisata, hingga makna sosial. Dan juga budaya yang terkandung di dalamnya. Langkah ini tidak hanya menunjukkan sikap duka cita dan penghormatan. Akan tetapi juga menggambarkan bagaimana keraton menjalankan tradisi secara penuh makna. Serta konsisten di tengah era modern. Secara waktu, penghentian bunyi gamelan dan pertunjukan wisata dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Terlebihnya yaitu mulai Minggu, 2 November 2025 hingga Selasa, 4 November 2025. Dan bersamaan dengan rangkaian upacara duka. Serta dengan pemakaman PB XIII di Kompleks Makam Raja-Raja Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penentuan durasi tiga hari ini selaras dengan tradisi keraton yang mengenal masa matang nyewu (masa awal duka cita). Tentunya di mana aktivitas duniawi yang bersifat hiburan di tangguhkan.

Sementara waktu agar suasana hening. Dan sakral dapat di jaga. Selama masa itu, bunyi gamelan tidak di bunyikan, tarian keraton tidak di tampilkan, dan pertunjukan wisata di hentikan. Terlebihnya sebagai bentuk penyesuaian terhadap adat serta penghormatan kepada raja yang wafat. Meskipun beberapa kegiatan budaya di hentikan, keraton tidak sepenuhnya menutup diri dari publik. Beberapa area seperti Kagungan Dalem Tamansari dan bagian museum masih tetap di buka secara terbatas agar wisatawan tetap bisa berkunjung. Dan menikmati sisi edukatif dari kebudayaan keraton tanpa unsur hiburan. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara pelestarian adat dan pelayanan terhadap masyarakat. Dengan kata lain, keraton tetap menjalankan fungsi budayanya. Namun dalam batas-batas etika yang sesuai dengan suasana duka.

Jadi itu dia beberapa alasan di balik Gamelan setop hingga pemakaman PB XIII yang buat Keraton Jogja Hening.

 

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait