Geng Solo
Geng Solo Dituding Ada Di Balik Perebutan 4 Pulau Di Aceh?

Geng Solo Dituding Ada Di Balik Perebutan 4 Pulau Di Aceh?

Geng Solo Dituding Ada Di Balik Perebutan 4 Pulau Di Aceh?

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Geng Solo
Geng Solo Dituding Ada Di Balik Perebutan 4 Pulau Di Aceh?

Geng Solo Ikut Andil Dalamn Perebutan Empat Pulau Antara Provinsi Aceh Dan Sumatera Utara Kembali Menjadi Perbincangan Nasional. Namun kali ini, isu tersebut memanas setelah muncul tudingan di media sosial yang menyebut bahwa “Geng Solo” berada di balik manuver pengambilalihan wilayah yang kaya potensi sumber daya alam itu. Meski belum terkonfirmasi secara resmi, narasi ini memicu kecurigaan publik bahwa ada kepentingan politik dan ekonomi besar di baliknya.

Empat pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang—yang sebelumnya di anggap masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, kini secara resmi di putuskan menjadi bagian dari Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan ini tertuang dalam surat Kemendagri nomor 300.2.2‑2138 tertanggal 25 April 2025. Bagi rakyat Aceh, ini bukan sekadar soal wilayah, tapi juga tentang identitas, hak atas sumber daya, dan dugaan praktik ketidakadilan Geng Solo.

Potensi Gas dan Energi: Alasan yang Tak Terucap

Pernyataan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, bahwa di balik klaim tersebut ada “energi lebih besar”, di sinyalir mengarah pada cadangan sumber daya alam seperti gas dan minyak bumi. Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa bukan semata letak geografis yang menjadi dasar keputusan pusat, melainkan dorongan ekonomi dan mungkin, intervensi elite kekuasaan.

Beberapa anggota DPR Aceh juga turut menyoroti potensi besar di wilayah perairan sekitar empat pulau tersebut. Bahkan di sebut-sebut investor luar negeri, termasuk dari UEA, sudah menyatakan ketertarikan untuk menanamkan modal di kawasan tersebut. Nilainya bisa mencapai triliunan rupiah. Maka tak heran, wilayah ini mendadak menjadi rebutan. Di media sosial, muncul narasi liar yang menyebut keterlibatan “Geng Solo” dalam sengketa ini Geng Solo.

Pulau Kami Diambil, Suara Kami Diabaikan

Polemik perebutan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara bukan hanya bergema di ruang politik dan media, tapi juga menyulut reaksi keras di jagat maya. Di berbagai platform seperti X (Twitter), Facebook, hingga TikTok, ribuan komentar bermunculan dengan satu nada: ketidakpercayaan dan kemarahan terhadap pemerintah pusat.

Salah satu komentar viral datang dari akun @AcehBerdaulat:

“Pulau Kami Diambil, Suara Kami Diabaikan. Jangan pikir rakyat Aceh akan diam terus. Kami tahu ini bukan sekadar peta!”

Banyak warganet menyuarakan dugaan bahwa perebutan ini bukan murni soal batas administrasi, melainkan berkaitan dengan cadangan sumber daya alam seperti gas dan minyak yang ada di Kawasan tersebut.

Akun @IndonesiaNetral menulis:

“Kalau tak ada gas atau minyak, yakin pulau itu di perebutkan? Ini ada aroma rakus kekuasaan.”

Lebih panas lagi, sebagian warganet bahkan menuding adanya kekuatan politik tertentu yang bermain di belakang keputusan ini. Frasa “Geng Solo” mulai bermunculan sebagai simbol ketidakpercayaan pada kelompok elite yang di anggap terlalu dominan mengatur arah kebijakan nasional.Salah satu komentar menohok menyebut:

“Geng Solo bukan hanya rakus, tapi lupa bahwa Aceh itu punya sejarah berdarah dalam memperjuangkan kedaulatan!”

Namun, tak semua warganet terjebak dalam narasi provokatif. Beberapa menyerukan pendekatan dialog dan verifikasi ulang berdasarkan data yang objektif, agar masalah tidak melebar menjadi konflik etnis atau provinsi. Akun @IndonesiaDamai menulis:

“Selesaikan dengan kepala dingin. Jangan semua di kaitkan ke Solo, ini soal data dan hukum.”

Di sisi lain, warganet asal Sumut pun turut bersuara. Beberapa membela keputusan Kemendagri dengan argumen legalitas dan fakta peta geografis. Tapi tanggapan mereka juga menuai perdebatan.

“Geng Solo” Merujuk Secara Tak Langsung Pada Lingkaran Elite Politik Yang Dekat Dengan Joko Widodo

Dalam polemik perebutan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, muncul istilah yang memantik kontroversi: “Geng Solo”. Istilah ini mulai ramai di perbincangkan di media sosial sebagai simbol kekuasaan terpusat yang di anggap terlalu dominan mengatur kebijakan nasional, termasuk soal penetapan wilayah yang kini memicu gejolak di Aceh.

“Geng Solo” Merujuk Secara Tak Langsung Pada Lingkaran Elite Politik Yang Dekat Dengan Joko Widodo, yang berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah. Tuduhan ini mencuat setelah berbagai keputusan strategis nasional—mulai dari proyek infrastruktur, penunjukan pejabat, hingga alokasi sumber daya di anggap terlalu banyak di kendalikan oleh kelompok yang sama. Maka, saat keputusan Kemendagri menetapkan empat pulau sebagai wilayah Tapanuli Tengah, Sumut, kecurigaan publik pun langsung mengarah ke kekuasaan pusat.

Sejumlah tokoh, termasuk akademisi dan aktivis, menyuarakan bahwa pengalihan wilayah ini bisa saja bukan semata soal batas geografis. Mereka menduga ada dorongan politik dan ekonomi besar di balik keputusan tersebut, yang mungkin melibatkan kelompok elite yang punya akses langsung ke kekuasaan tertinggi. Narasi ini semakin kuat ketika isu potensi energi dan gas alam ikut mencuat, membuat publik percaya bahwa pihak-pihak berkepentingan sedang berlomba menguasai sumber daya sebelum masyarakat lokal sempat di libatkan.

Salah satu tokoh yang sempat menyinggung hal ini adalah Chusnul Chotimah, akademisi dan aktivis politik. Ia menyebut, “Rakusnya Geng Solo tidak mengenal batas,” merujuk pada keputusan yang di nilai mengabaikan suara rakyat Aceh. Meski pernyataannya bersifat opini, pernyataan itu cepat viral dan menjadi bahan di skusi hangat di ruang publik digital.

Isyarat Soal Adanya “Sesuatu Yang Lebih Besar” Disampaikan Langsung Oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf

Di balik polemik perebutan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, tersimpan satu hal yang nyaris tak pernah di sebut secara gamblang oleh pemerintah pusat: potensi kekayaan sumber daya alam di wilayah tersebut. Empat pulau yang di perebutkan Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang di sebut-sebut menyimpan cadangan gas dan energi yang sangat besar, bahkan menarik perhatian investor asing.

Isyarat Soal Adanya “Sesuatu Yang Lebih Besar” Disampaikan Langsung Oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Dalam pernyataannya, ia mengatakan, “di sana ada energi besar.” Kalimat yang terdengar samar namun mengundang tafsir luas. Banyak pihak percaya bahwa yang di maksud adalah energi dalam arti harfiah gas alam, minyak bumi, atau potensi geothermal—yang berada di kawasan sekitar keempat pulau tersebut.

Sejumlah anggota DPR Aceh juga memperkuat dugaan ini. Mereka mengklaim bahwa sebelum sengketa mencuat. Sudah ada ketertarikan dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk melakukan investasi. Bernilai triliunan rupiah dalam proyek eksplorasi energi di perairan sekitar pulau tersebut. Jika benar, maka empat pulau itu bukan sekadar wilayah kosong, melainkan ladang kekayaan strategis masa depan.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa pemerintah pusat tak pernah secara. Terbuka menyampaikan alasan ekonomi atau energi sebagai dasar keputusan administrasi? Mengapa justru menitikberatkan pada hasil koordinat dan batas wilayah spasial semata? Ini menimbulkan kecurigaan bahwa penetapan wilayah administratif hanyalah pintu masuk untuk mengamankan kepentingan eksploitasi sumber daya.

Kondisi ini membuat masyarakat Aceh merasa semakin di rugikan. Mereka menilai, jika memang ada potensi migas atau energi lainnya. Seharusnya Aceh sebagai daerah penghasil di beri hak utama untuk mengelola atau setidaknya di ajak duduk bersama Geng Solo.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait